Sabtu, 26 Mei 2012

Memahami Arti Tanggung Jawab

        Saat ini kita diperhadapkan pada hiruk pikuk ke-pemimpinan. Banyak yang sangat bangga dengan pemimpinnya namun tak sedikit pula yang sudah merasa gerah. Hal ini disebabkan 2 faktor, yakni pertama, soal kinerja pemerintahan yang belum maksimal dan yang kedua adalah sikap atau perilaku pemimpin dalam merespon kritikan. Saya kira kita semua mafhum kalau pemimpin adalah bahagian terpenting dalam kehidupan kita sebab tanpa kepemimmpinan, maka kita pun akan sulit menuju harapan serta tujuan yang dituju. Paling tidak karakter dan jiwa kepemimpinan ada disetiap jiwa kita masing-masing. Dalam bahasa Islam, sebuah hadits menjelaskan bahwa “ kalian semua adalah pemimpin, dan kalian semua bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya”.


Pemimpin akan selalu berkorelasi dengan tanggung jawab, sebab tanggung jawab itu menjadi domain kuasa terhadap apa yang dipimpinnya. Jika kemudian pemimpin tidak bisa memainkan atau tepatnya memerankan tanggung jawab itu, maka kredibilitas pemimpin tersebut harus di pertanyakan. Dalam artian, tanggung jawab inilah yang menjadi “stempel” atau legitimasi atas kepemimpinan tersebut. Terlepas kemudian hasil dari tanggung jawab itu baik atau buruk yang menjadi hal penting adalah pemimpin itu punya sikap, visi, pendirian serta komitmen atas tanggung jawab tersebut. Dan hal yang lumrah jika kemudian pemimpin dicibir sebagai respon perlakuannya atau sikapnya pada tanggung jawab yang diemban tersebut. Seberapa keras pun cibiran itu, pemimpin harus pintar-pintar dan strategi menyikapinya. Bahkan bisa dijadikan sebagai bahan masukan untuk kerja dan juga semangat untuk memperbaiki kinerja.

Namun jika, kemudian pemimpin meresponnya dengan reaksioner, kelabakan sampai harus diumber didepan publik dengan nada keluh kesah, maka publik pun akan menilainya variatif. Bisa saja ada yang bersimpatik namun juga tidak sedikit yang merasa “aneh-geli” sebab dinilai (juga) diluar kepatutan dan kepantasan seorang pemimpin. Entah apa yang ingin dicapai ketika melakukan hal ni, mungkin membangun image, pencitraan bahwa pemimpin ini (sekarang) sedang difitnah, digoyah dan tak dihormati. Dan tidak akan memperkarakannya secara hukum, meskipun ada penyelesaian jalur hukum. Makanya, kamu harus merasa kasihan melihat pemimpinmu diperlakukan seperti ini. cara membuat pemimpin tersebut “seakan” teraniaya, bisa merebut simpatik.

pemimpin yang seperti ini pasti paham betul kondisi sosial-psikologis masyarakatnya. Yaitu cepat merasa kasihan, iba terhadap orang yang teraniaya atau yang tersudutkan. dan jika sudah berperasaan kasihan maka, rasa simpatik terhadap yang merasa di aniaya akan muncul dimana-mana. Gejala ini bisa diraba dan diperikasa di media-media. Mungkin kita masih ingat betul, beberapa tahun silam, salah satu konteks akademi di stasiun TV swasta yang diseleksi lewat polling SMS oleh pemirsa. Maka munculkanlah salah satu peserta konteks bernyanyi tersebut dari kalangan orang miskin, masyarakat pinggiran, orang yang tak berpunya lau kemudian dibesar-besarkan oleh media tersebut. Walhasil, juaralah dia dengan perolehan SMS yang tinggi. Selain dari pada hal ini, reality-reality show dan tentu saja sinetron yang marak cukup mempengaruhi pola pikir dan karakter masyarakat kita. Kondisi seperti ini, menjadikan masyrakat kita lemah terhadap pembentukan daya kritisnya serta minus pembelajaran yang bisa digapai. Maka jadilah masyaraat kita sabar dengan keadaanya sekarang. Namun disisi lain juga, mereka bahkan jarang mengeluh. Ketika minyak tanah langka, harga sembako naik, bencana datang silih menghampiri. Mereka tetap sabar menghadapinya dan rasa ibanya juga ikut terpelihara.


Tapi juga merupakan kesalahan fatal, sebab pemimpin bukan hanya seorang yang diserahi setumpuk kepercayaan dalam hal melakukan perubahan, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya juga adalah pemimpin itu harus jadi panutan atau role of model dan sumber pengetahuan. Pemimpin juga punya tanggung jawab untuk membuat bawahan dan masyarakat untuk menjadi cerdas. Pemimpin yang demikian juga malah memperdaya “kelemahan pemahaman” masyarakatnya untuk meraih popularitas dan juga memperpanjang keterbelakangan masyarakatnya. Karena ketika pemimpin mengedepankan sebuah moralitas yang patut dianut maka dengan sendirinya akan banyak berdampak di lapisan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar